Tapera
Pelaksanaan ibadah haji di Makkah, Arab Saudi/StoryBlocks
Menilai Penyelenggaraan Ibadah Haji

Jurnal RPK-PKB | Penulis: Tim RPK

1. Penyelenggaraan Haji Perlu Diperbaiki

Penyelenggaraan haji kembali menjadi perhatian masyarakat setelah viral video yang menampakkan sejumlah jamaah haji asal Bogor telantar sebab tidak kebagian tenda di Maktab Mina (16/4). Keprihatinan masyarakat semakin besar setelah hal tersebut dikonfirmasi oleh Ketua Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR Muhaimin Iskandar saat mengecek langsung kondisi jamaah haji di Makkah.

Menanggapi hal tersebut, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas kukuh berpendapat penyelenggaraan haji di tahun 2024 secara umum berjalan sukses. Capaian tersebut ia dasarkan pada beberapa fakta, Pertama kuota haji reguler sebanyak 213.320 terserap maksimal. Kedua, pelayanan kedatangan jamaah di Makkah dan Madinah berjalan lancar. Ketiga, pergerakan jamaah saat puncak ibadah haji dari Arafah ke Muzdalifah dan Mina lancar.

Menag juga tidak menampik bahwa persoalan tenda yang tak memadai di Mina perlu dievaluasi. Masalah ini ia akui berpangkal pada katerbatasan lahan yang tersedia di Mina yang diperkirakan hanya ada jatah seluas 0,8 meter per orang di sana. Masalah ini jelas perlu segera dicarikan solusi karena persoalan telah terjadi sejak tahun 2017.

2. Penyelenggaraan Haji 2024 Dievaluasi Timwas Haji DPR

Timwas Haji DPR menemukan sejumlah masalah krusial dalam penyelenggaraan haji di tahun ini. Pertama, tenda di Maktab Mina yang melebihi kapasitas dan menyebabkan jamaah terlantar. Bahkan ditemukan fakta bahwa ada tenda yang normalnya hanya mampu menampung 80 jamaah dipaksa menampung 1.200 jamaah.

Kedua, penempatan tenda jamaah tidak sesuai dengan Maktab yang ditentukan dalam surat penempatan. Hal ini mengakibatkan banyak jamaah tidak mendapatkan pelayanan yang layak dan bahkan harus terusir karena Maktab tersebut telah ditempati atau milik orang lain.

Ketiga, toilet untuk mandi, cuci, kakus (MCK) jumlahnya kurang. Hal ini mengakibatkan antrean panjang jamaah dan memaksa jamaah berhajat di luar toilet. Kondisi diperparah oleh penempatan toilet yang sulit dijangkau jamaah dan secara umum tidak ramah untuk jamaah lansia.

Keempat, alokasi separuh kuota tambahan untuk haji khusus dianggap menyalahi aturan. 10 ribu dari 20 ribu kuota tambahan yang dialihkan Kemenag untuk haji khusus mencederai rasa keadilan masyarakat yang telah bertahun-tahun mengantri haji. Padahal seharusnya kuota tambahan haji tersebut digunakan untuk memangkas daftar tunggu haji reguler yang telah mencapai 5,2 juta jamaah.

3. Upaya Peningkatan Kualitas Layanan Haji

Untuk meningkatkan pelayanan haji Indonesia, Kementerian Agama diketahui telah menerapkan beberapa program khusus. Salah satunya adalah permintaan tambahan untuk layanan Fast Track kepada Pemerintah Arab Saudi di bandara-bandara keberangkatan haji di Indonesia. Tambahan Fast Track memungkinkan pemeriksaan dokumen keimigrasian jamaah haji berjalan lebih cepat.

Demi mengakomodasi banyaknya jamaah haji yang berusia lanjut, di tahun 2024 jumlahnya sekitar 45 ribu, Kemenag menyediakan skema khusus bertajuk Haji Ramah Lansia. Melalui skema ini para jamaah lansia diprioritaskan untuk mendapat kursi penerbangan bisnis pulang-pergi. Lansia juga akan disediakan menu konsumsi khusus dengan prioritas kamar di lantai bawah hotel. Selain itu, Kemenag menambah kuota haji pendamping untuk memastikan kelancaran ibadah haji lansia selama di Tanah Suci.

Tidak berhenti di sana, Kemenag mengungkapkan selama setahun terakhir pihaknya juga sedang membahas skema layanan haji ramah penyandang disabilitas. Namun, layanan ini belum siap dijalankan pada penyelenggaraan haji 2024 ini.

4. Perbandingan Pengelolaan Haji di Negara Lain

Berdasarkan analisis manajemen institusi penyelenggaraan haji, Indonesia belum bisa dikategorikan sebagai penyelenggara haji terbaik. Analisis perbandingan manajemen haji antara Indonesia, Malaysia dan Maladewa yang dilakukan International Centre of Education for Islamic Finance (INCEIF) pada tahun 2018 menunjukkan bahwa pengelolaan dana haji di Indonesia masih kalah dengan Malaysia.

Jika di Malaysia pengelolaan haji mencakup ketersediaan produk layanan bank, sukuk, ekuitas dan usaha kecil, Indonesia bersama Maladewa hanya menyediakan produk layanan bank dan sukuk. Hal ini kemudian berdampak besar pada penyediaan fasilitas dan keterjangkauan biaya haji yang mesti ditanggung oleh masyarakat. (https://doi.org/10.18646/2056.53.18-009)

Tentu analisis tersebut tidak bisa sepenuhnya dijadikan landasan untuk menilai bahwa penyelenggaraan haji di Indonesia buruk. Hanya, berbekal dari hal tersebut kita bisa melihat celah pengelolaan haji di tanah air dan potensi pengembangannya. Hal ini sekaligus berkorelasi dengan kenaikan besaran biaya yang mesti ditanggung jamaah haji.

5. Perbandingan Biaya Haji 5 Tahun Terakhir

Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) terus meningkat setiap tahun. Pada tahun 2024, besaran BPIH tercatat mencapai Rp 93,4 juta. Dari jumlah tersebut, jamaah haji diharuskan membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) 60% atau sekitar Rp 54,05. Sedangkan 40% atau Rp 37,4 juta sisanya akan dibebankan pembayarannya dari pengelolaan dana haji.

Kenaikan biaya terlihat jelas ketika dibandingkan dengan BPIH dan Bipih di tahun-tahun sebelumnya. Yakni di tahun 2023 BPIH sebesar Rp90,05 juta dan Bipih sebesar Rp 49,81 juta, tahun 2022 BPIH sebesar Rp 81,7 juta dengan Bipih sebesar Rp39 juta, dan tahun 2020 BPIH Tim Pemandu Haji Daerah sebesar Rp 65-72 juta dengan Bipih Rp 31-38 juta.

Dengan demikian, jika biaya haji tahun 2024 dibandingkankan dengan tahun 2020, BPIH mengalami kenaikan sekitar 29,7% dan Bipih naik lebih dari 42,1%. Artinya, persentase kenaikan biaya yang ditanggung oleh masyarakat atau Bipih lebih besar dari kenaikan biaya haji secara umum atau BPIH.

7. Keluhan Umum Jamaah Haji

Kelayakan tenda menjadi keluhan jamaah yang paling santer terdengar dalam penyelenggaraan haji tahun 2024. Selain ketersediaan tenda yang jauh di bawah kapasitas ideal, fasilitas di dalam tenda seperti air conditioner (AC) juga banyak dikeluhkan. Mengingat banyak kejadian jamaah pingsan dan sesak napas karena panasnya udara dalam tenda. Toilet yang minim dan kotor memperparah kondisi buruk ini.

Jamaah juga mengeluhkan kualitas konsumsi yang disediakan oleh panitia haji. Makanan yang diterima jamaah menunya kurang memenuhi standar makan masyarakat Indonesia. Beberapa jamaah mengeluhkan terbatasnya jatah makan yang mengakibatkan sebagian jamaah tidak kebagian jatah makan.

Di luar dari penyelenggaraan haji di Tanah Suci, masyarakat akar rumput juga menggelisahkan lamanya antrean haji reguler. Jika masyarakat mendaftar haji sekarang, belasan bahkan puluhan tahun lagi baru mereka bisa berangkat. Masa tunggu ini bervariasi sesuai daerah, yang tercepat adalah Provinsi Sulawesi Utara di angka 16 tahun dan yang terlama Kalimantan Selatan yang harus menunggu hingga 38 tahun.

8. Rekomendasi

a. Perbaikan Layanan Dasar Jamaah Haji

Perlu disadari bahwa ramainya pembahasan penyelenggaraan haji 2024 timbul karena kurangnya fasilitas-fasilitas dasar penunjang jamaah selama menjalankan haji. Kurangnya tenda untuk jamaah beristirahat, toilet yang memadai untuk berhajat dan bersuci serta menu makan yang layak adalah hal yang tidak bisa ditawar. Mengingat hal tersebut menyangkut tidak hanya kenyamanan, tapi juga keselamatan dan kesehatan jamaah.

Terkait sulitnya manajemen jamaah haji kita yang berjumlah 200 ribu lebih, tentu sudah menjadi pemahaman bersama. Namun, pengalaman selama bertahun-tahun dalam penyelenggaraan haji seolah tidak memberikan pelajaran yang cukup bagi pemerintah untuk mengelola haji lebih baik. Ke depan, pemerintah dalam hal ini Kemenag mesti memastikan penyediaan tenda, toilet, dan konsumsi memenuhi kebutuhan seluruh jamaah.

Telah diketahui salah satu penyebab kisruh kekurangan tenda di Mina adalah sempitnya lahan. Masalah ini pun sudah timbul sejak 2017, yang artinya Kemenag mestinya sudah punya langkah antisipasi. Apalagi setiap tahun kuota jamaah haji Indonesia terus bertambah. Gagasan untuk menyediakan bangunan bertingkat perlu diseriusi. Untuk mewujudkan hal ini, Pemerintah Indonesia harus mampu mendorong Pemerintah Arab Saudi bertindak cepat. Jika kedua Pemerintah bisa terus sepakat menambah kuota haji, sudah semestinya mereka tidak lupa menambah fasilitas pendukungnya.

Menyimak berbagai masalah di atas, Ketua Timwas Haji DPR Muhaimin Iskandar telah menyeru keras bahwa mesti ada revolusi total penyelenggaraan haji. Karena banyak persoalan yang selama ini timbul sebenarnya bisa diantisipasi oleh penyelenggara, termasuk penyediaan tenda yang sesuai dengan jumlah jamaah. “Kebutuhan Jamaah perlu dipersiapkan sejak awal, tidak ada ketergesaan, tidak dadakan. Jadi, kesimpulannya harus ada revolusi penyelenggaraan haji, diniatkan dari awal, perbaikan total,” tegas Cak Imin.

b. Memaksimalkan Pengelolaan Dana Haji

Perlu disadari bahwa peningkatan kualitas layanan ibadah haji akan bergantung banyak pada ketersediaan biaya penyelenggaraannya. Di atas telah disebutkan bahwa setiap tahun BPIH meningkat. Namun peningkatan tersebut ternyata tidak serta merta menuntaskan persoalan buruknya pelayanan. Tentu, kenaikan BPIH dipengaruhi oleh banyak hal termasuk kondisi ekonomi makro. Tetapi satu hal yang bisa Pemerintah kontrol adalah agar kenaikan BPIH tidak mempengaruhi Bipih yang ditanggung masyarakat. Karena dalam aspek ini ternyata masyarakat tampak semakin terbebani.

Pemerintah perlu mengkaji bagaimana memaksimalkan pengelolaan dana haji. Idealnya, jika pengelolaan dana haji meningkat, kualitas penyelenggaraan ibadah haji juga meningkat. Pakar hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Abdul Jamil menilai, transparansi pengelolaan dana haji masih sangat perlu ditingkatkan. Alasannya adalah sampai saat ini publik sebenarnya tidak benar-benar tahu bagaimana dana haji kita dikelola.

Padahal, manajemen pengelolaan dana haji akan semakin menantang di masa depan karena kuota haji yang terus meningkat dan masa tunggu haji semakin lama. Manajemen dana haji yang sehat akan sangat strategis untuk penyediaan infrastruktur jangka panjang dan layanan haji yang lebih berkualitas. Mengingat dana yang dihimpun pengelola akan semakin besar, tentu dibutuhkan manajemen yang transparan dan akuntabel.

Terkait haji, masyarakat jelas tidak punya pilihan selain bergantung pada pemerintah. Gagasan pembentukan panitia khusus evaluasi penyelenggaraan haji yang didorong oleh DPR perlu didukung. Pansus bisa menjadi langkah awal yang baik untuk bersama-sama mengurai persoalan penyelenggaraan haji dan pengelolaan dana haji. Harus diakui bahwa selama bertahun-tahun masyarakat terpaksa menelan buah simalakama, nekat haji dengan pengelolaan yang buruk atau memilih tidak haji sama sekali. Ini jelas bukan kondisi ideal untuk kita semua.

Meningkatkan Profesionalisme Tata Kelola Haji Indonesia

Sebuah Analisis/Opini

Oleh Sugeng Bahagijo
Direktur Rumah Politik Kesejahteraan RPK)

Penyelenggaraan ibadah haji kembali menjadi sorotan publik setelah mengemuka banyak persoalan pada musim haji 2024 yang baru saja usai. Di antara persoalan yang paling mencolok adalah banyaknya tenda jamaah over kapasitas di Mina. Hal ini membuat banyak jamaah mengeluhkan fasilitas yang ada. Karena selain tidak mendapat tempat istirahat yang memadai, ternyata fasilitas toilet dan menu makan juga dirasa sangat kurang.

Masalah yang muncul sangat mendasar. Untuk Indonesia yang punya jamaah haji paling banyak dan berbekal sejarah panjang penyelenggaraan ibadah haji ratusan tahun, seharusnya hal teknis dan mendasar demikian tidak terjadi. Indonesia kembali kehilangan muka. Apa daya, ternyata kuantitas dan pengalaman panjang tak bisa menjadi jaminan kualitas penyelenggaraan haji. Sampai di sini, profesionalisme tata kelola haji di Tanah Air sepatutnya dipertanyakan dan dilakukan evaluasi.

Penyelenggaraan layanan publik di negara modern menempatkan profesionalisme sebagai fondasi penting. Terwujudnya pelayanan birokrasi yang baik sangat dipengaruhi oleh kemampuan aparatur pemerintahan dalam menyediakan layanan yang responsif, efektif, dan transparan. Sayangnya, ketiga unsur layanan di atas belum sepenuhnya dimiliki oleh Kementerian Agama selaku lembaga yang membawahi Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah (Dirjen PHU) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Padahal Dirjen PHU dan BPKH adalah elemen penting penyelenggaraan haji di Indonesia.

Dua badan ini, Dirjen PHU dan BPKH, secara sederhana bisa digambarkan sebagai panitia acara dan penyedia dana. Masalahnya, Dirjen PHU selaku pihak yang berwenang membentuk Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) belum mampu memastikan ketersediaan layanan yang responsif terhadap kebutuhan jamaah haji. Isu tenda, toilet, dan konsumsi layak seolah menjadi masalah laten yang tidak ada solusinya.

Ironisnya, ketika ditagih pertanggungjawaban atas berbagai masalah tersebut, mereka melempar kesalahan kepada pihak luar seperti otoritas Arab Saudi dan perusahaan mitra. Tanggapan semacam itu jelas bukan cerminan wajah birokrasi penyelenggara haji yang dijalankan secara profesional. Karena, sebagai penyelenggara, sudah menjadi tupoksinya untuk memastikan kebutuhan jamaah terpenuhi selama melaksanakan haji.

Berikutnya, BPKH yang secara tidak langsung memegang peranan penting dalam memastikan dana jamaah tak kunjung dikelola maksimal. Tanggung jawab ini jelas bukan main-main. Sampai tahun 2023 tercatat total dana yang tengah dikelola BPKH mencapai Rp 166,7 triliun. Sayangnya, belakangan santer terdengar pemerintah ingin mengurangi peran BPKH dengan menurunkan kontribusi biaya penyelenggaraan haji dari 40% ke 30%.

Ini usulan yang sulit diterima nalar. Bagaimana mungkin dengan dana yang terus bertambah setiap tahun, BPKH justru ingin mengurangi kontribusinya. Lantas, selama puluhan tahun ini apa peran pengelolaan BPKH? Kalau cuma pasif menjadi kotak celengan haji, tentu pemerintah tidak perlu repot-repot membentuk badan pengelola khusus semacam itu. Serahkan saja pada bank, beres urusan.

Adapun BPKH punya kewenangan penuh untuk mengembangkan dana tersebut melalui investasi. Artinya, BPKH telah dirancang dan dipercaya menjadi lembaga profesional yang mampu mengembangkan dana haji agar manfaatnya semakin dirasakan jamaah. Justru dengan mengemban misi mulia tersebut semestinya pemerintah mendorong BPKH lebih aktif dan inovatif dalam mengelola dana haji.

Melihat melempemnya peran berbagai lembaga terkait penyelenggaraan haji di Tanah Air, seolah menjadi wajar persoalan-persoalan mendasar layanan haji setiap tahun muncul. Di sisi lain, telah ada lima juta lebih jamaah yang saat ini mengantre haji. Tanpa ada gebrakan besar, mungkin sulit untuk kita berharap adanya perbaikan dalam penyelenggaraan haji pada tahun-tahun mendatang. |

Rekomendasi Perbaikan dan Evaluasi Layanan Haji Indonesia ke Depan

  1. Melakukan evaluasi organisasi dengan menggunakan Indeks Kesehatan Organisasi (IKO) untuk melihat kelemahan dan kekurangan organisasi penyelenggara haji Indonesia terutama di Direktorat Jenderal Penyelenggara Haji dan Umrah (Dirjen PHU) dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
  2. Melakukan survei Layanan ke peserta haji kurun waktu 5 tahun terakhir untuk mendata kualitas pelayanan.
  3. Melombakan kajian teknis metode dan organisasi pelaksanaan haji yang efektif, efisien, dan bebas masalah.
  4. Membentuk Komite Penasihat Teknis Haji yang terdiri dari tokoh profesional lintas bidang dan organisasi.
  5. Harus ada langkah mitigasi keselamatan jamaah haji khususnya untuk kelompok lansia.
  6. Mendorong transparansi dan profesionalisme tata kelola dana haji Indonesia.